“Pap : Profesi saya tukang beca, rek naon siahhh …???”
Ini gara-gara obrolan dgn Paksu Omda (om Dauz) tadi siang selama perjalanan kami ke Cihanjuang.
Suatu waktu ada seorang pengendara mobil yang sombong dan arogan. Ketika itu ia melewati sebuah komplek perumahan terkenal di Bandung. Tapi sayang, ada sebuah mobil yg melintang dan menghalangi jalan si pengendara tsb. Ternyata, mobil yg melintang itu milik penghuni rumah yg sedang mengadakan pesta/hajatan.
Tanpa tedeng aling-aling, si pengendara mobil marah-marah. Sambil membuka kaca mobilnya, dia berteriak sama yang punya rumah. “Heiii … !! Kalo parkir yg bener donggg .. !! Jangan di tengah jalan gituh …!!
Si empunya rumah dengan tenang menghampiri pengemudi mobil dan berkata : “Bisa turun sebentar …??”
Si pengemudi mobil : “Memang kenapa …?”
Empu rumah : “Mau lihat sertifikat rumah saya …?”
Pengemudi mobil : “Apa hubungannya …?”
Empu rumah : “Rumah dan jalan ini adalah milik saya. Jadi saya memberikan lahan ini pada warga agar bisa menggunakan dan melewati jalan ini. Pahammm …??!”
Pengemudi mobil : “Eh Punten, maaf saya ga tau”
Dangggghh bgt kannnn …Ini cerita nyata yaa. Benar-benar terjadi hehehe
Aku tiba-tiba teringat cerita pap dulu. Di kompleks rumah aku jg ada jalan umum yang tadinya merupakan rumah salah satu warga/penduduk asli.
Sebelumnya pemilik rumah enggan membuka jalur tsb. Aku bisa ngerti bgt. Itu rumah besar dan panjang di pinggir jalan protokol pula. Kalo mau buka jalan untuk warga, itu artinya pemilik rumah harus memisahkan rumah dan tanahnya menjadi dua bagian. Jadi jalan baru itu akan membelah aset miliknya.
Sebagai gambaran, posisi rumah pemilik di sebelah kiri jalan, dan posisi tanahnya ada di sebelah kanan jalan. Jadi jalan umum itu berada di tengah-tengah antara rumah dan tanah pemiliknya. Kebayang kannn …?? Sebuah pengorbanan yg sangat besar.
Menurut cerita, pemilik rumah keberatan membuka jalurnya karena “cara” dari perwakilan warga yg dirasa kurang berkenan.
Saat itu Pap sbg warga biasa berinisiatif datang bersilaturahmi selayaknya seorang adik yg datang berkunjung pada kakaknya.
Tanpa diduga pemilik rumah dengan lembut berkata dalam bahasa Sunda: “Tah kan lamun kieu carana mah ayi, akang oge janten raos ..” (Nah .. kalo cara dimintanya seperti ini ( Ayi : sebutan adik), Saya (akang : sebutan kakak laki-laki) juga merasa enak.
Setelah itu, Pap menyampaikan hasil pertemuan tsb dgn pengurus Rukun Tetangga dan Rukun Warga di Kantor RW. Sepertinya ini masih sekitar tahun 80an ya. Yang hadir di rapat adalah para warga dengan berbagai macam profesi. Rata-rata semua berpendidikan formal minimal Sarjana 1 dan bahkan ada yg lulusan dari luar negri. Semua memperkenalkan diri dengan titel dan jabatannya masing-masing yg begitu mentereng.
Sedangkan Pap, hanya lulusan SMA saja.
Lalu giliran pap, dengan cueknya memperkenalkan diri : “Saya Haji Anton, profesi tukang beca, rek naon siahh …??!! Mun ieu jadi masalah oge, gelut siah jeng aing .. !!” (Mau apa kamu ..??!! Kalo ini masih jadi masalah juga, ayo duel sama saya).
Hahhahahahha
Menurut Mam, semua pada kaget dan terbengong-bengong. Kebayang ..pasti pd ga nyangka ada warga ‘preman’ di tengah-tengah mereka hehe
Inti dari pertemuan itu, dibahas biaya yg harus disepakati warga termasuk biaya pengurusan ke notaris.
Sampai akhirnya jalur tersebut menjadi jalan umum hingga saat ini.
Mungkin penghuni baru sekarang ga banyak yg tau sejarahnya. Tapi memang itu yg sebenarnya terjadi.
Dan Pap pernah mengatakan, bahwa membuka jalan bagi kepentingan orang banyak itu merupakan salah satu dari 10 amal jariah yang pahalanya akan terus mengalir bagi pemilik rumah tsb hingga hari kiamat tiba.
-bersambung-
_belajar menulis spontan_
_free writing_